Tarian Likurai berasal dari Kabupaten Belu dan Daerah Otonomi
Baru (DOB) Malaka. Tarian Likurai dahulunya merupakan tarian perang, yaitu
tarian yang ditarikan ketika menyambut atau menyongsong para pahlawan yang
pulang dari medan perang.
Konon ketika para pahlawan yang pulang dari medan perang
dengan membawa kepala musuh yang telah dipenggal (sebagai bukti keperkasaan).
Maka para feto (wanita) cantik atau gadis-gadis cantik terutama mereka yang
berdarah bangsawan menjemput para Meo (pahlawan) dengan membawakan tarian
Likurai dan didampingi beberapa mane (laki-laki) sambil menari (haksoke)
membawa pedang.
Likurai itu sendiri dari bahasa Tetun (suku yang ada di Belu)
mempunyai arti menguasai bumi. Liku artinya “menguasai” dan Rai artinya “tanah
dan bumi”. Lambang tarian ini adalah wujud penghormatan kepada para pahlawan
yang telah menguasai atau menaklukan bumi, tanah air tercinta.
Tarian adat ini ditarikan oleh feto-feto kebas (wanita-wanita
cantik) dengan menggunakan gendang-gendang kecil yang berbentuk lonjong terbuka
dan salah satu sisinya dan dijepit dibawah ketiak sambil pukul dengan irama
gembira dan berlenggak lenggok diikuti dengan derap kaki yang cepat sesuai
irama pukulan.
Beberapa pria menari (haksoke) dengan membawa pedang yang
berhiaskan perak sambil mengancungkan pedang atau perang sebagai ekspresi
kegembiraan dan kebanggaan sambil berteriak memberikan keberanian menyambut
para pahlawan yang pulang dari medan perang dengan membawa kepala musuh sebagai
lambing kemenangan.
Kepala musuh yang dipenggal itu dibuang ditanah dan ditendang
sebagai tanda penghinaan dan kemudian diletakkan di atas altar persembahan
terbuat dari susunan batu yang disebut Ksadan dengan upacara adat (mantra).
Sekarang tarian Likurai digunakan untuk menjemput para
pejabat/tamu atau acara-acara hiburan lainnya dan menjadi tarian yang paling
terkenal dari Kabupaten Belu.
*Dari Berbagai Sumber